KATA PENGANTAR
BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIM
Puji syukur ke hadirat Allah SWT,atas berkat rahmat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan,kekuatan,karunia,dan ketabahan dalam mempersiapkan dan melaksanakan penelitian serta pengamatan hingga sampai pada penulisan hasil pengamatan dalam bentuk makalah ini. dan selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Djaenab yang telah memberikan kepercayaanya untuk melaksanakan sampai tuntas pembuatan makalah ini.
Membuat makalah ini merupakan salah satu tugas dalam mata pelajaran IPS yang harus diselesaikan demi menuntaskan seluruh kegiatan belajar mengajar di semester 1 tahun ajaran 2014-2015 ini.Menurut penulis,tugas ini cukup bisa dikatakan tugas yang berat.Karena,penulis membutuhkan berbagai sumber untuk menyelesaikan tugas makalah ini.Sehingga,makalah ini tidak akan terwujud seperti keadaanya sekarang tanpa bantuan dari berbagai pihak.Oleh karena itu,penulis merasa berkewajiban untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah SWT dan hutang budi kepada semua pihak yang terpaut dengan kerja penyusunan dan penyelesaian makalah ini.
Makalah yang berjudul “Perubahan Sosial dan Budaya dalam Masyarakat di sekitar Keraton Yogyakarta” agar kita dapat mengetahui contoh perubahan sosial, budaya dan masyarakat baik perubahan yang bersifat positif ataupun bersifat negatif, latar belakang yang menyebabkan adanya dan terjadinya perubahan sosial dan budaya pada masyarakat, dan agar dapat menyimpulkan bacaan dari berbagai banyaknya sumber yang ada.
Makalah ini dibuat sesuai dengan perintah dan intruksi dari guru yang bersangkutan.dan penulis telah berusaha dengan semaksimal mungkin agar dapat memenuhi perintah dan intruksi guru yang bersangkutan serta mendapatkan hasil yang memuaskan, baik untuk guru yang bersangkutan ataupun untuk penulis pribadi. Sehingga penulis mengucapkan maaf dan harap dimaklumi jika ada kekurangan dalam penulisan makalah ini.Terima kasih.
PERUBAHAN SOSIAL dan BUDAYA DALAM MASYARAKAT di SEKITAR KERATON YOGYAKARTA
LATAR BELAKANG PERUBAHAN SOSIAL,BUDAYA dan MASYARAKAT
Setiap masyarakat dalam kehidupanya pasti mengalami perubahan. Berdasarkan sifatnya, perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga menuju ke arah kemunduran. Perubahan sosial yang terjadi memang telah ada sejak zaman dahulu. Ada kalanya perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung demikian cepatnya, sehingga membingungkan manusia yang menghadapinya.
Penyebabnya telah dijelaskan oleh Samuel Koening bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi tersebut terjadi karena sebab-sebab intern dan ekstern. Selo Soemardjan menjelaskan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya. Termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan unsur-unsur atau struktur sosial dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keaadan tertentu ke keadaan yang lain.
Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat (sebab intern) :
Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk.
Adanya penemuan-penemuan baru yang berkembang di masyarakat, baik penemuan yang bersifat baru (discovery) ataupun penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk penemuan lama (invention).
Munculnya berbagai bentuk pertentangan (conflict) dalam masyarakat.
Sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat (sebab ekstern) :
Adanya pengaruh bencana alam. Kondisi ini terkadang memaksa masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah kelahiranya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan lingkungan yang baru tersebut. Hal ini kemungkinan besar juga dapat mempengaruhi perubahan pada struktur dan pola kelembagaanya.
Adanya peperangan, baik perang saudara maupun perang antarnegara dapat menyebabkan perubahan, karena pihak yang menang biasanya akan dapat memaksakan ideology dan kebudayaanya pada pihak yang kalah.
Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan perubahan. Jika pengaruh suatu kebudayaan dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut Demonstration effect. Jika pengaruh suatu kebudayaan saling menolak, maka disebut Cultural animosity. Jika kedudukan satu kebudayaan lebih tinggi, maka kebudayaan asli yang berkedudukan rendah akan tergeser.
B. Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial Budaya
1. Faktor-Faktor Pendorong Perubahan
a. Adanya Kontak dengan Kebudayaan Lain
Kontak dengan kebudayaan lain dapat menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Penemuan-penemuan baru tersebut dapat berasal dari kebudayaan asing atau merupakan perpaduan antara budaya asing dengan budaya sendiri. Proses tersebut dapat mendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan yang ada.
b.Sistem Pendidikan formal yang maju
Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama membuka pikiran dan mem-biasakan berpola pikir ilmiah, rasional, dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya dapat memenuhi perkembangan zaman atau tidak.
c.Sikap Menghargai Hasil Karya Orang Lain
Penghargaan terhadap hasil karya seseorang akan mendorong seseorang untuk berkarya lebih baik lagi, sehingga masyarakat akan semakin terpacu untuk menghasilkan karya-karya lain.
d.Toleransi terhadap Perbuatan yang Menyimpang
Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak pidana, dapat merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya.Untuk itu, toleransi dapat diberikan agarsemakin tercipta hal-hal baru yang kreatif.
e.Sistem Terbuka Masyarakat
Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
f.Heterogenitas penduduk
Di dalam masyarakat heterogen yang mempunyai latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat dalam upayanya untuk mencapai keselarasan sosial.
g.Orientasi ke Masa Depan
Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
h. Ketidakpuasan Masyarakat terhadap Bidang-Bidang Tertentu
Ketidakpuasan yang berlangsung lama di kehidupan masyarakat dapat menimbulkan reaksi berupa perlawanan, pertentangan, dan gerakan revolusi untuk mengubahnya.
i . Nilai Bahwa Manusia Harus Senantiasa Berikhtiar untuk Memperbaiki Hidupnya
Ikhtiar harus selalu dilakukan manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas.
2. Faktor-Faktor Penghambat Perubahan
a.Kurangnya hubungan dengan Orang Lain
Kehidupan terasing menyebabkan suatu masyarakat tidak mengetahui perkembangan-perkembangan yang telah terjadi. Hal ini menyebabkan pola-pola pemikiran dan kehidupan masyarakat menjadi statis.
b . Terlambatnya Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Kondisi ini dapat dikarenakan kehidupan masyarakat yang terasing dan tertutup, contohnya masyarakat pedalaman. Tapi mungkin juga karena masyarakat itu lama berada di bawah pengaruh masyarakat lain (terjajah).
c . Sikap Masyarakat yang Masih Sangat Tradisional
Sikap yang mengagung-agungkan tradisi dan masa lampau dapat membuat terlena dan sulit menerima kemajuan dan perubahan zaman. Lebih parah lagi jika masyarakat yang bersangkutan didominasi oleh golongan konservatif (kolot).
d . Rasa Takut Terjadinya Kegoyahan pada Integritas Kebudayaan
Integrasi kebudayaan seringkali berjalan tidak sempurna, kondisi seperti ini dikhawatirkan akan menggoyahkan pola kehidupan atau kebudayaan yang telah ada. Beberapa golongan masyarakat berupaya menghindari risiko ini dan tetap mempertahankan diri pada pola kehidupan atau kebudayaan yang telah ada.
e . Adanya Kepentingan-Kepentingan yang Telah Tertanam dengan Kuat ( Vested Interest Interest)
Organisasi sosial yang mengenal sistem lapisan strata akan menghambat terjadinya perubahan. Golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi tentunya akan mempertahankan statusnya tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan terhambatnya proses perubahan.
f . Adanya Sikap Tertutup dan Prasangka Terhadap Hal Baru (Asing)
Sikap yang demikian banyak dijumpai dalam masyarakat yang pernah dijajah oleh bangsa lain, misalnya oleh bangsa Barat. Mereka mencurigai semua hal yang berasal dari Barat karena belum bisa melupakan pengalaman pahit selama masa penjajahan, sehingga mereka cenderung menutup diri dari pengaruh-pengaruh asing.
g. Adat atau Kebiasaan yang Telah Mengakar
Adat atau kebiasaan merupakan pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adakalanya adat dan kebiasaan begitu kuatnya sehingga sulit untuk diubah. Hal ini merupakan bentuk halangan terhadap perkembangan dan perubahan kebudayaan. Misalnya, memotong padi dengan mesin dapat mempercepat proses pemanenan, namun karena adat dan kebiasaan masyarakat masih banyak yang menggunakan sabit atau ani-ani, maka mesin pemotong padi tidak akan digunakan.
h. Nilai Bahwa Hidup ini pada Hakikatnya
Buruk dan Tidak Mungkin Diperbaiki Pandangan tersebut adalah pandangan pesimistis. Masyarakat cenderung menerima kehidupan apa adanya dengan dalih suatu kehidupan telah diatur oleh Yang Mahakuasa. Pola pikir semacam ini tentu saja tidak akan memacu pekembangan kehidupan manusia.
SEJARAH BERDIRINYA KRATON YOGYAKARTA
Menurut kitab Babad Tanah Jawi diceritakan sebelum berdirinya kraton Ngayogyokarto Hadiningrat, satu satunya kraton (kerajaan) dibumi mataram adalah Kasunanan Kartosuro, namun setelah perjanjian Gianti atau Meja Bundar yang ditandatangani pada tanggal 13 Pebruari 1753, maka sejak saat itu Kasunanan Kartosuro dipecah menjadi dua.
Apa yang menyebabkan kraton Kasunanan Kartosuro pecah menjadi dua ?.
Asal mula perpecahan ini dimulai ketika Paku Buwono II (Kakak Pangeran Mangku Bumi) jumeneng menjadi Raja Kartosuro, Beliau kurang cakap dalam mengendalikan roda pemerintahan sehingga pamor kraton mulai meredup dan saat Beliau memerintah pada than 1740 ~ 1743 terjadi pemberotakan besar besaran yang dilakukan oleh orang orang cina yang dalam sejarah dikenal dengan istilah “ Geger Pacino” Pada saat itu kraton Surokarto dihancurkan oleh orang orang cina. Paku Buwono II tampaknya tidak mampu mengatasi dahsyatnya pemberontakan itu, maka satu satunya jalan yang ditempuh pada saat itu adalah meminta bantuan kepada kumpeni Belanda atau VOC. Pihak Belanda bersedia membantu Paku Buwono II dan akhirnya Belanda berhasil memadamkan pemberontakan tersebut.
Akibat pemberontakan itu kota Kartosuro beserta kratonnya hancur total, tidak lama kemudian kraton Kartosuro dipindah ke Solo yang sekarang kita kenal dengan sebutan kraton Kasunanan Surakarta. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan pihak Belanda menagih janji kepada Paku Buwono II untuk membayar “balas jasa” atas keberhasilan memadamkan pemberontakan tersebut. Menurut catatan sejarah Paku Buwono II harus menyerahkan kepada Belanda antara lain :
Pulau Madura, Surabaya, Pasuruan dan sekitarnya.
Rembang, Jepara, Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
Daerah pesisir dan sungai Bengawan Solo serta Kali Brantas.
Disamping itu untuk mengangkat Pepatih Dalem harus mendapat ijin terlebih dahulu
dari pihak Belanda. dan lebih parahnya lagi pada tanggal 11 Desember 1749
ketika Paku Buwono II hendak mangkat, malah Beliau menyerahkan kendali
pemerintahan Kraton Surakarta kepihak Belanda.
Mengetahui tuntutan Belanda yang sedemikian rupa maka Pangeran Mangku Bumi yang konon pada saat itu menjadi penasehat sekaligus adik Paku Buwono II merasa keberatan, apalagi dia pernah dipermalukan didepan umum oleh Gubernur Jendral Van Imhoff. Maka dia memutuskan untuk pergi meninggalkan kraton. Dia berkesimpulan bahwa semua kekacauan yang ada di Kraton Surokarto sumbernya adalah kumpeni Belanda. Kemudian dia bergabung dengan Raden Mas Said atau pangeran Samber Nyowo untuk bergerilya melawan Belanda.
Beberapa saat kemudian Belanda mengangkat Paku Buwono III (Putra PB II) menjadi Sri Sultan yang nota bene merupakan bonekanya Belanda. Pada saat yang sama Pangeran Mangku bumi juga dinobatkan oleh pengikutnya menjadi Sri Sultan. Menurut cerita ketika PB III diangkat menjadi Sultan, para bangsawan maupun petinggi yang hadir sangat sedikit sedangkan yang menghadiri penobatan Pageran Mangku Bumi yang hadir sangat banyak tidak hanya bangsawan, petinggi namun ribuan rakyat datang berbondong bondong ikut menyaksikan.
Ketika mengadakan perang gerilya bersama Pangeran Samber Nyowo disekitar sungai Bogowonto banyak tentara kumpeni Belanda yang mati termasuk komandannya. Pihak Belanda akhirya merasa kuwalahan dan tidak mampu menghadapinya. Disamping itu dikarenakan tidak adanya dana untuk perang dan jumlah prajurit yang tinggal sedikit, pihak Belanda akhirnya mengambil jalan meminta Pangeran Mangku Bumi supaya mau berunding secara damai di Salatiga yang dalam sejarah dikenal dengan perjanjian Gianti atau perjanjian meja bundar. Pada saat itu yang hadir dan ikut menandatangani perjanjian adalah PB III, Pangeran Mangku Bumi dan dari pihak Belanda diwakili oleh Mr. N. Hartnigh, gubernur dan direktur Jawa utara. Akibat perjanjian itu wilayah kekuasaan kraton Surakarto dipecah menjadi dua yaitu kraton Kasultanan Surokarto yang sekarang berada di kota Solo diberikan kepada Paku Buwono III dan kraton Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat yang berada di kota Yogyakarta diberikan kepada Pangeran Mangku Bumi.
Setelah mendapat separo bagian kekuasaan maka segera Pangeran Mangku Bumi mendirikan Kraton Kasultanan Ngayogyokarto Hadinigrat pada tahun 1756 dengan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pada mulanya kraton Yogyakarta ini didirikan di desa Gamping yang berjarak 4 km sebelah barat kota Yogyakarta, tepatnya disebelah barat sungai Bedog. Kraton yang didirikan Sultan tersebut diberi nama Ambar Ketawang. Ditempat ini Sri Sultan masih belum sreg, kemudian Beliau mencari tempat lain yang lebih baik lagi untuk dijadikan Ibu kota sekaligus pusat pemerintahan Kesultanan Ngayogyokarto.
Pada saat itu keadaan kota Yogyakarta belum seperti sekarang, namun masih berupa hutan yang lebat dan akhrinya setahun kemudian Sultan menemukan tempat yang cocok yaitu di hutan Beringan. Setelah membabat alas kemudian Kraton dipindahkan kesini dan sejak saat itu Beringan lambat laun semakin ramai dan menjadi ibu kota yang sekarang dikenal dengan nama Yogyakarta. Untuk mengenang ini, nama hutan Beringan dijadikan nama sebuah pasar yang paling besar di Yogyakarta yaitu pasar Bering harjo.
Adapun Sultan yang memerintah Kraton Yogyakarta sekarang ini adalah Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito yang bergelar Sri Sultan HB X. Beliau ini merupakan generasi yang kesepuluh. Didalam memerintah Kraton Yogyakarta Beliau didampingin seorang permaisuri tanpa seorang selirpun yaitu Bendoro Raden Ayu Tatik Mangku Bumi yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Dalam catatan sejarah Kraton Yogyakarta Beliaulah satu satunya Sultan atau Raja yang menganut paham monogami tidak seperti pendahulu pendahulunya seperti HB I Beliau mempunyai 2 orang permaisuri dan 23 selir, putranya 32 orang. HB II mempunyai 4 permaisuri dan 24 selir, putra putrinya 80 orang. Jadi bisa kita bayangkan bagaimana sibuknya dan repotnya HB I dan HB II mengurus permaisuri dan para selirnya.Putra Dalem Sri Sultan HB X ada 5 orang, semuanya perempuan. Dan sekarang ini Sri Sultan HB X selain memangku jabatan sebagai raja Kraton Yogyakarta, Beliau juga memangku jabatan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat RI.
Perubahan Budaya masyarakat Sekitar Keraton Yogyakarta
Pengertian Perubahan Budaya
Pengertian Perubahan Kebudayaan Perubahan budaya adalah perubahan pada kebudayaan atau kebiasaan pada masyarakat. Perubahan budaya dipengaruhi oleh faktor dari luar masyarakat (dari masyarakat lain). Perubahan budaya bisa merubah struktur, fungsi, nilai, norma, pranata, dan semua aspek lainnya. Perubahan ini bisa terjadi pada salah satu anggota masyarakat atau seluruh lapisan masyarakat.
Contoh Perubahan Kebudayaan Di Masyarakat
1. Pakaian
Perubahan mode pakaian pada masyarakat bisa saja terjadi. Dahulu semua masyarakat menggunakan pakaian adat khasnya. Namun, seiring dengan kemajuan dari perkembangan masyarakat tersebut membuat sedikit demi sedikit anggota masyarakat mulai meninggalkan pakaian adatnya dan menggunakan pakaian yang menjadi trend di daerah itu. Seperti contoh, sekarang adalah jamannya demam Korea. Bagi penggemar beratnya, mereka selalu mencari dan menggunakan pakaian yang biasa digunakan orang Korea. Namun, masyarakat tetap tidak meninggalkan pakaian adat mereka dan tetap menggunakannya dalam acara tertentu. Seperti pakaian adat Bali yang digunakan setiap kali mereka sembahyang di pura.
2. Model Rambut
Model rambut juga banyak berubah. Bahkan masyarakat cenderung merasa harus mengikuti trend tersebut jika tidak mau dikatakan ‘jadul’ atau ‘culun’. Pengaruh terbesar adalah model rambut ‘punk’ yang membuat banyak remaja mengikuti model rambut dan gaya hidup orang dengan model rambut tersebut.
3. Kesenian
Kesenian bisa saja berubah atau tergantikan seiring perkembangan zaman. Saat ini, banyak kesenian di Indonesia yang mulai punah karena anak bangsa tidak suka dengan kesenian tersebut. Bahkan mereka lebih suka mempelajari kesenian asing dengan alasan trendy. Namun, masih banyak kesenian populer Indonesia yang masih bisa bertahan sampai sekarang.
4. Bahasa Daerah
Indonesia memiliki banyak sekali bahasa daerah. Namun, banyak juga bahasa yang mulai punah. Itu mungkin disebabkan karena mereka lebih berminat untuk menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dibandingkan bahasa daerahnya sendiri. Itu mungkin karena bahasa tersebut jangkauan komunikasinya lebih luas dibandingkan bahasa daerahnya yang cenderung hanya dimengerti oleh anggota masyarakat di daerah tersebut.
5. Masuknya Budaya Barat
Budaya di Indonesia telah banyak tercampur dengan budaya asing. Itu mungkin disebakan karena kebudayaan itu lebih menyenangkan dibandingkan budayanya sendiri. Seperti budaya hari Valentine dan pesta ulang tahun. Sebenarnya budaya asli Indonesia telah memiliki budaya yang mirip dengan budaya tadi. Namun, budaya tersebut terkadang dianggap kurang meriah. Contoh perubahan besar lainnya adalah penggunaan komputer dan alat-alat teknologi sebagai pengganti buku untuk mencari tugas. Hal itu disebabkan oleh kemudahan menggunakan alat-alat teknologi tersebut.
6. Cara Berkomunikasi
Perubahan pada cara berkomunikasi bisa terjadi. Beberapa tahun lalu kita masih menggunakan surat untuk berkomunikasi jarak jauh dan sekarang, dengan menggunakan jejaring sosial atau alat komunikasi, seseorang bisa berkomunikasi dengan cepat dan praktis.
Perubahan Budaya masyarakat Sekitar Keraton Yogyakarta
Definisi budaya berdasarkan KBBI adalah semua hasil karya dan pemikiran manusia. Oleh karena itu dalam peninjauan, budaya dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu mentifak, sosiofak, dan artefak (Koentjaraningrat, 1990). Mentifak berkaitan dengan pemikiran dan falsafah dasar kebudayaan, sosiofak berkaitan dengan perilaku dan penerapan nyata ideofak dalam kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat berupa barang, tarian, teks, atau lagu. Ketiga bagian dari kebudayaan ini dapat dianalisis untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam budaya yang dianut suatu masyarakat.
Yogyakarta dalam peta kebudayaan Jawa termasuk dalam wilayah kebudayaan Nagarigung atau daerah pusat kerajaan. Dahulu, nilai-nilai budaya lahir dari dalam lingkungan keraton sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku bagi masyarakat di lingkungan tersebut. Hal ini menyebabkan masyarakat yang dekat dengan keraton mengenal lebih dekat nilai-nilai budaya tersebut. Secara umum, dari hasil survey yang pernah dilakukan, menunjukkan bahwa hingga kini sebagian besar masyarakat Yogyakarta masih memegang teguh tradisi para pendahulu mereka, sehingga pemahaman mereka terhadap berbagai falsafah hidup masih sangat kuat (Gauthama, 2003, p. 38). Pemahaman ini ditunjukkan oleh pemahaman mengenai lima hakekat pokok budaya Jawa yang disebutkan oleh Koentjaraningrat. Di Yogyakarta, pemahaman mengenai hakekat tersebut adalah sebagai berikut:
Hakekat Pokok Paham Tidak Paham
Hakekat Hidup 96.35% 3.65%
Hakekat Kerja 96.35% 3.65%
Hakekat Waktu 72.37% 27.63%
Hakekat Hubungan Antarmanusia 100% 0%
Hakekat Hubungan Manusia dan alam 73.15% 26.85%
Sumber: (Gauthama, 2003)
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa secara ideofak, budaya Jawa di Yogyakarta masih terjaga dengan cukup baik, lebih baik dari daerah-daerah lain di Jawa. Hal ini disebabkan adanya keterkaitan budaya antara masyarakat Yogyakarta dan keraton. Keraton di Yogyakarta menjadi penjaga nilai dan budaya.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, perubahan perilaku dan gaya hidup juga terjadi di Yogyakarta terutama pada generasi muda. Pemahaman falsafah budaya belum tentu diaplikasikan di kehidupan nyata. Salah satu contoh nyata adalah penggunaan bahasa dalam kehidupan. Penggunaan bahasa ngoko ketimbang bahasa krama terhadap orang tua sudah mulai dimaklumi dan menjadi hal yang wajar (Gauthama, 2003, p. 266). Artinya, interpretasi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan sudah mulai berubah. Bentuk lain dari perubahan perilaku adalah berubahnya hubungan sosial di dalam masyarakat. Hubungan kekeluargaan di dalam masyarakat Yogyakarta sudah mulai berkurang akibat gaya hidup modern yang mendorong orang untuk bersifat individualis. Pekerjaan yang menuntut orang untuk bepergian mengurangi waktu yang tersedia untuk bersosialisasi dengan orang lain. Beberapa orang bahkan tidak menyukai bersosialisasi(Gauthama, 2003, p. 268). Hubungan antarmanusia sekarang bersifat lebih praktis dan orang-orang dapat menikmati kebebasan individual, bebas dari kekangan komunal masyarakat. Selain itu, penggunaan sistem kasta sudah hampir dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Etika penghormatan tradisional terhadap orang-orang berkasta tinggi seperti ningrat tidak lagi penting bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta, walaupun menjadi darah biru tetap menjadi kebanggaan dan status di dalam masyarakat. Dari perubahan-perubahan di atas, dapat disimpulkan bahwa falsafah budaya Jawa di Yogyakarta tidak diterapkan di dalam masyarakat. Artinya, secara sosiofak, budaya Jawa sudah mulai hilang dari masyarakat Yogyakarta.
Perubahan di dalam masyarakat Yogyakarta telah menggeser nilai-nilai yang dahulu dianut oleh masyarakat tersebut. Walaupun secara falsafah nilai-nilai ini dipahami banyak orang, di dalam berperilaku, nilai-nilai ini tidak diterapkan sepenuhnya. Falsafah budaya Jawa sudah menjadi sesuatu yang usang di dalam masyarakat Yogyakarta, sesuatu yang ada tetapi tidak sepenuhnya terpakai. Hal ini tentu berpengaruh pada peran dan posisi keraton di dalam masyarakat Yogyakarta. Pandangan masyarakat berubah dari yang dahulu melihat keraton sebagai sumber otoritas utama di masyarakat, sekarang melihat keraton menjadi cagar budaya yang harus dilestarikan. Otoritas politik keraton tetap ada di masyarakat bukan karena pengakuan hirearki kesultanan tetapi pengakuan hirearki pemerintahan Republik Indonesia. Keraton mempunyai otoritas politik di masyarakat karena Sultan Hamengkubuwono X menjadi gubernur DI Yogyakarta bukan karena beliau menjabat Sultan.
Faktor-faktor pengubah budaya masyarakat di Keraton Yogyakarta
Perubahan masyarakat Yogyakarta dimulai sejak zaman kolonial hingga sekarang. Kolonialisme di Indonesia membawa perubahan-perubahan mendasar di dalam masyarakat dan menggeser pusat kekuasan. Dengan adanya kolonial Belanda kapitalisme terbentuk di Indonesia. Kapitalisme merubah sistem ekonomi tradisional dan merubah sistem sosial dengan membentuk kelas-kelas berdasarkan level ekonomi. Sebelum masuknya kolonial Belanda, sistem ekonomi yang digunakan adalah sistem ekonomi feudal dimana ekonomi didasarkan pada hirarki kerajaan. Petani memberikan hasil tani mereka kepada Raja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di zaman kolonial, sistem ini digunakan oleh pemerintah kolonial pada awalnya, tetapi pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda bertransaksi langsung dengan petani ketika lahan pribadi mulai berkembang sehingga pengaruh kapitalisme dapat dirasakan hingga ke seluruh sendi masyarakat(Kroef, 1952). Masuknya masyarakat Indonesia ke dalam sistem perekenomian pasar membuat beberapa perubahan yang fundamental. Pertama, secara sosial, ikatan-ikatan tradisional berubah menjadi ikatan rasional berdasarkan kedudukan masing-masing lembaga ekonomi. Hal ini menyebabkan berpindahnya simbol otoritas dari pembesar-pembesar tradisional kepada kaum intelektual berpendidikan sehingga keraton sebagai sumber otoritas tradisional melemah.
Kedua, dengan perkembangan kapitalisme, masyarakat kelas menengah mulai terbentuk di Indonesia. Hal ini terjadi terutama di wilayah urban, wilayah yang berkembang pesat di zaman kolonial. Golongan ini hidup dengan bebas, dengan patron baru, yaitu kelas menengah itu sendiri dan pasar. Ikatan golongan ini tidak terletak kepada keraton tetapi pada pasar. Di sini, hubungan patron-client dalam budaya tradisional digantikan oleh hubungan produsen-konsumen, hubungan vertikal diganti dengan hubungan horizontal (Kuntowijoyo, 2006). Status sosial tidak lagi ditentukan oleh keturunan, siapa saja yang mampu mengangkat dirinya secara ekonomis, sosial, dan intelektual dapat menjadi elit sosial. Bangkitnya kelas menengah merusak hegemoni elit sosial tradisional dan menciptakan elit baru berdasarkan status ekonomi. Kepemimpinan sosial mulai berpindah tangan kepada kaum elit baru.
Selain pembentukan sistem ekonomi, perubahan juga terjadi karena pembentukan sistem pemerintahan kolonial yang merubah golongan priyayi. Kaum priyayi yang tadinya berada di bawah Keraton digunakan dalam administrasi kolonial sehingga ikatan subordinasi mereka berpindah, tidak lagi pada keraton tetapi kepada pemerintah kolonial. Golongan ini menjadi patron dan pembentuk selera baru dalam kebudayaan dan menggeser hirarki lama dimana keraton adalah pusat dari segala aspek kehidupan masyarakat. Bersamaan dengan munculnya golongan priyayi baru, kelas menengah urban yang terdiri dari kaum intelektual, pedagang, dan pengusaha juga mulai terbentuk di kota-kota. Dua golongan baru ini membentuk sebuah rasionalitas baru, rasionalitas modern yang berdasarkan kebebasan, produktivitas, partisipasi, dan perubahan(Kuntowijoyo, 2006). Kelas-kelas baru ini berpusat di kota sehingga membuat sebuah locus budaya baru di dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan baru ini berlawanan dengan kebudayaan tradisional yang hirarkis dengan sifat dominasi yang menonjol. Perlawanan budaya ini menyatakan dirinya dengan Gerakan Jawa Dipa dan penggunaan bahasa ngoko oleh kelas priyayi dan wong cilik di awal abad 20. Pembentukan kebudayaan baru ini menyurutkan otoritas keraton dengan membentuk sebuah kekuatan tandingan yang bersifat modern dan menentang feodalisme tradisional. Pada akhirnya, keraton akan tergantikan dengan birokrasi rasional dan modern.
Pergerakan nasionalisme di Indonesia juga berperan dalam pelemahan kekuatan tradisional karena ideologi pergerakan nasionalisme ingin menghapuskan ikatan-ikatan tradisional dan menggantikannya dengan ikatan-ikatan modern. Ideologi dari pergerakan kemerdekaan Indonesia sangat dipengaruhi oleh ideologi modern Barat karena pemimpin-pemimpin intelektual mendapatkan pendidikan Barat. Baik itu liberalisme, komunisme, ataupun humanisme, semua menentang hirarki sosial yang dimiliki oleh sistem sosial tradisional Indonesia. Pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah pergerakan anti-feudal. Untuk Sjahrir, feudalisme adalah alasan utama untuk keterbelakangan dan penghambaan, bukan hanya sebuah sistem dominasi tetapi cara berpikir yang mengerikan (Elson, 2008). Dengan pemikiran ini, nasionalisme Indonesia berkembang dengan ide tentang masyarakat egaliter, sebuah masyarakat tanpa hirarki sosial dimana semua orang setara dan berkesempatan sama untuk mewujudkan potensinya.
Perubahan di dalam sebuah masyarakat selain bisa menyebabkan erosi budaya juga bisa menyebabkan retradisionalisasi (Kuntowijoyo, 2006). Retradisionalisasi adalah dampak dari ketakutan masyarakat yang menganggap modernisasi tidak bisa dikontrol sehingga akan menghapus budaya Indonesia seluruhnya (Ferzacca, 2002). Ketakutan akan perubahan ini membuat beberapa masyarakat kembali kepada budaya tradisional dengan menghidupkan kembali simbol-simbol tradisional seperti jimat, pusaka, atau upacara-upacara. Akan tetapi, penghidupan kembali tradisi ini bersifat semu karena hanya bernilai ekstrinsik, yaitu sebagai lambang status setelah orang memperoleh kedudukan kelas tertentu dalam masyarakat atau bersifat politis sebagai gejala nasionalisme-protradisi-antiasing. Tradisi disini dijadikan sebagai fashion oleh kelas menengah kota sebagai tanda kelimpahan ketika tanda-tanda kelas modern seperti mobil, rumah, atau pangkat tercapai (Kuntowijoyo, 2006). Walaupun ada gerakan retradisionalisasi dalam masyarakat, gerakan ini tidak memberikan banyak otoritas kepada sistem hirarki tradisional karena gerakan ini hanya mengambil kulit dari budaya Jawa, bukan resureksi budaya yang menyeluruh.
Tradisi dan Kesenian Keraton Yogyakarta yang Tetap Dilaksanakan dan Menggunakan Dialek Bahasa Jawa Krama
Pagelaran Kesenian Wayang Kulit
Ada banyak tradisi dan bentuk kesenian yang dilaksanakan oleh keraton secara rutin. Dan dalam pelaksanaannya masih tetap memakai bahasa Jawa krama. Diantara tradisi tersebut, ada satu tradisi yang setiap dua minggu sekali tetap dilaksanakan, yaitu pagelaran wayang kulit yang diselenggarakan di depan keraton dan dalam alun-alun kota Yogyakarta. Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat bayangan.
Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.
Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan. Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.
Cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan) dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.
Dalam pagelaran wayang kulit tersebut, Dalang dalam melakonkan aktor wayang menggunakan bahasa Jawa krama, mulai dari awal sampai akhir cerita. Dengan demikian, pagelaran wayang kulit secara langsung maupun tidak langsung memiliki peranan dalam menjaga dan mewarisan kebudayaan kepada masyarakat. Selain itu, dilihat dari segi pembawaanya, pagelaran wayang kulit juga mempunyai peranan yang penting, yaitu dalam mempertahankan eksistensi bahasa jawa krama dan dalam meawariskan bahasa Jawa krama kepada masyarakat.
Tradisi Sekaten
Di wilayah Kotamadya Yogyakarta, terdapat upacara adat yang disebut sebagai Sekaten atau yang lebih dikenal dengan istilah Pasar Malam Perayaan Sekaten karena sebelum upacara Sekaten diadakan kegiatan pasar malam terlebih dahulu selama satu bulan penuh. Tradisi yang ada sejak zaman Kerajaan Demak (abad ke-16) ini diadakan setahun sekali pada bulan Maulud, bulan ke tiga dalam tahun Jawa, dengan mengambil lokasi di pelataran atau Alun-alun Utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Asal usul istilah Sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang berpendapat bahwa Sekaten berasal dari kata Sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka Kraton berupa gamelan yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata suka dan ati (suka hati, senang hati) karena orang-orang menyambut hari Maulud tersebut dengan perasaan syukur dan bahagia dalam perayaan pasar malam di Alun-alun Utara.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata Sekaten berasal dari kata syahadataini, dua kalimat dalam Syahadat Islam, yaitusyahadat taukhid (Asyhadu alla ila-ha-ilallah) yang berarti "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah" dan syahadat rasul(Waasyhadu anna Muhammadarrosululloh) yang berarti "saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah".
Upacara Sekaten dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Pada awal mula penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Kalijaga, mempergunakan kesenian karawitan (gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitan-nya dengan menggunakan dua perangkat gamelan Kanjeng Kyai Sekati. Di sela-sela pergelaran, dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.
Di kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan ikut merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutan akan mendapat pahala dari Yang Maha Agung, dan dianugerahi awet muda. Sebagai syarat, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung Yogyakarta, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan Sekaten. Oleh karena itu, selama perayaan, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, di Alun-alun Utara atau di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk untuk dibawa pulang.
Sebelum upacara Sekaten dilaksanakan, diadakan dua macam persiapan, yaitu persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah bunga kanthil, busana seragam Sekaten, samir untuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi Muhammad SAW.
Gamelan Sekaten adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati dalam dua rancak, yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan Sekaten tersebut dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian karawitandan disebut-sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau dan untuk dapat menghasilkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipuk pada masing-masing gamelan.
Sedangkan Gendhing Sekaten adalah serangkaian lagu gendhing yang digunakan, yaitu Rambu pathet lima, Rangkungpathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet em, Muru putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang.
Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengembang tugas sakral tersebut. Terlebih para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.
Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud (Rabiulawal) saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kanjeng Kyai Sekati dari tempat persemayamannya, Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit bertugas menjaga gamelan pusaka tersebut, yaitu prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung. Di halaman Kemandungan atau Keben, banyak orang berjualan kinang dan nasi wuduk.
Lepas waktu sholat Isya, para abdi dalem yang bertugas di bangsal, memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian dibunyikan gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Demikianlah dibunyikan secara bergantian antara Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelumnya Sri Sultan (atau wakil Sri Sultan) menaburkan udhik-udhik di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti, dan bangsal Trajumas.
Tepat pada pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta dengan dikawal kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrijero dan Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan sebelah selatan gapuran halaman Masjid Agung dan Kanjeng Kyai Nogowilogo di pagongan sebelah utara. Di halaman masjid tersebut, gamelan Sekaten dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut-turut, kecuali pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat siang harinya.
Pada tanggal 11 Maulud (Rabiulawal), mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid Agung untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat maulud Nabi yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut selesai pada pukul 24.00 WIB, dan setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten diboyong kembali dari halaman Masjid Agung menuju ke Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa upacara Sekaten telah berakhir.
Contoh Perubahan Budaya di Sekitar Keraton yang Bersifat Positif :
Masuknya teknologi-teknologi yang lebih modern dibandingkan dahulu.Baik dalam aspek pendidikan,pekerjaan,industry ataupun yang lainya.Sehingga,perubahan-perubahan ini sangat membawa dampak positif bagi kehidupan sehari-hari.Karena,dapat mempermudah,membuat kita lebih efektif dan efisien dalam melakukan suatu pekerjaan.
Contoh Perubahan Budaya di Sekitar Keraton yang Bersifat Negatif :
Cara berpakaian anak jaman sekarang.Anak sekarang lebih dominan menggunakan pakaian-pakaian yang kurang sopan untuk di tempat umum.Berbeda dengan pakaian jaman dulu yang cenderung sopan dan praktis.Terlebih anak-anak remaja wanita yang sudah banyak menggunakan rok mini.Tentu ini sungguh berdampak buruk dalam kehidupan sehari-hari.
Gaya model rambut yang aneh-aneh.Banyak model-model rambut yang sudah berhasil membuat masyarakat ketagihan ataupun hanya sekedar ingin coba-coba saja.
Yang paling parah lagi,Mulai lunturnya cara berbicara dengan bahasa jawa menggunakan karma. Secara berangsur-angsur, penggunaan bahasa sehari-haripun turut berubah dari semula bahasa Jawa yang berstrata, menjadi bahasa Indonesia yang tidak menunjukkan adanya strata di masyarakat. Tidak hanya sekedar di dalam perbincangan formal antara pejabat daerah. Bahasa Indonesia di gunakan pula di dalam kehidupan keraton, termasuk saat berbicara kepada Sultan.
Perubahan Soaial masyarakat Sekitar Keraton Yogyakarta
Pengertian Perubahan Sosial
Pengertian Perubahan Sosial Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur/tatanan didalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat. Tetapi perubahan yang terjadi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama. Hal ini dikarenakan adanya suatu masyarakat yang mengalami perubahan yang lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menonjol atau tidak menampakkan adanya suatu perubahan. Juga terdapat adanya perubahan-perubahan yang memiliki pengaruh luas maupun terbatas. Di samping itu ada juga perubahan-perubahan yang prosesnya lambat, dan perubahan yang berlangsung dengan cepat. Pengertian perubahan sosial adalah perubahan perubahan yang terjadi pada masyarakat yang mencakup perubahan dalam aspek-aspek struktur dari suatu masyarakat, ataupun karena terjadinya perubahan dari faktor lingkung an, karena berubahnya komposisi penduduk, keadaan geografis, serta berubahnya sistem hubungan sosial, maupun perubahan pada lembaga kemasyarakatannya.
Contoh Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial Pada hakikatnya, perubahan sosial dalam masyarakat dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk. Untuk mengetahuinya, mari kita simak bersama uraian berikut ini.
1. Perubahan Lambat (Evolusi) Perubahan secara lambat atau evolusi memerlukan waktu yang lama. Perubahan ini biasanya merupakan rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat. Pada evolusi, perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Masyarakat hanya berusaha menyesuaikan dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
2. Perubahan Cepat (Revolusi) Perubahan yang berlangsung secara cepat dinamakan dengan revolusi. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu maupun tanpa direncanakan. Selain itu dapat dijalankan tanpa kekerasan maupun dengan kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Perubahan-perubahan tersebut dianggap cepat karena mengubah sendi-sendi pokok.
kehidupan masyarakat, seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antarmanusia. Suatu revolusi dapat juga berlangsung dengan didahului suatu pemberontakan. Secara sosiologis, persyaratan berikut ini harus dipenuhi agar suatu revolusi dapat tercapai.
a. Harus ada keinginan dari masyarakat banyak untuk mengadakan perubahan. Di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan dan harus ada keinginan untuk mencapai keadaan yang lebih baik.
b. Ada seorang pemimpin atau sekelompok orang yang mampu memimpin masyarakat untuk mengadakan perubahan.
c. Pemimpin harus dapat menampung keinginan atau aspirasi dari rakyat untuk kemudian merumuskan aspirasi tersebut menjadi suatu program kerja.
d. Ada tujuan konkret yang dapat dicapai. Artinya, tujuan itu dapat dilihat oleh masyarakat dan dilengkapi oleh suatu ideologi tertentu.
e. Harus ada momentum yang tepat untuk mengadakan revolusi, yaitu saat di mana keadaan sudah tepat dan baik untuk mengadakan suatu gerakan.
3. Perubahan Kecil Pada zaman dahulu, kaum perempuan di Indonesia setiap harinya mengenakan baju kebaya. Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan mode, model pakaian yang mereka kenakanpun mengalami perubahan. Ada yang memakai rok panjang, rok mini, celana panjang, kaos, dan lainlain. Contoh tersebut merupakan suatu bentuk perubahan kecil. Apa yang kamu ketahui mengenai perubahan kecil? Perubahan kecil adalah perubahan- perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat.
4. Perubahan Besar Perubahan besar adalah suatu perubahan yang berpengaruh terhadap masyarakat dan lembaga-lembaganya, seperti dalam sistem kerja, sistem hak milik tanah, hubungan kekeluargaan, dan stratifikasi masyarakat. Contohnya kepadatan penduduk di Pulau Jawa telah melahirkan berbagai perubahan, seperti semakin sempitnya lahan, terjadinya banyak pengangguran tersamar di desa-desa, dan lainnya.
5. Perubahan yang Dikehendaki Perubahan ini merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan dalam masyarakat. Pihakpihak ini dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin dalam perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan.Cara-cara untuk memengaruhi masyarakat adalah dengan rekayasa sosial ( social engineering ), yaitu dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu. Cara ini sering pula dinamakan perencanaan sosial ( social planning ). Contohnya, lahirnya undang-undang pemilu yang merubah tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia. Saat ini rakyat memilihnya secara langsung.
6. Perubahan yang Tidak Dikehendaki Pada tanggal 27 Mei 2006 di Jogjakarta dan Jawa Tengah diguncang gempa yang mengakibatkan banyak penduduk kehilangan keluarga dan tempat tinggal. Banyak fasilitas umum, seperti jalan, sekolah, dan rumah sakit rusak. Dengan demikian aktivitas masyarakat menjadi lumpuh. Peristiwa yang tidak mereka kehendaki tersebut telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat. Perubahan itu terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan tidak bisa diantisipasi atau diprediksi sebelumnya. Dalam sosiologi, perubahan tersebut biasa disebut dengan perubahan yang tidak dikehendaki karena menimbulkan akibatakibat sosial yang tidak diharapkan oleh masyarakat.
7. Perubahan Struktural Perubahan struktural adalah perubahan yang sangat mendasar yang menyebabkan timbulnya reorganisasi dalam masyarakat. Contohnya perubahan sistem pemerintahan dari monarkhi ke sistem pemerintahan republik.
8. Perubahan Proses Perubahan proses adalah perubahan yang sifatnya tidak mendasar. Perubahan tersebut hanya merupakan penyempurnaan dari perubahan sebelumnya. Contohnya, perubahan kurikulum dalam pendidikan. Sifatnya menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam perangkat atau dalam pelaksanaan kurikulum sebelumnya.
.
Perubahan Soaial masyarakat Sekitar Keraton Yogyakarta
Dalam kasus di Yogyakarta, pembagian kerja muncul sebagai akibat dari perubahan sistem pemerintahan dari yang semula sangat tersentralisasi dan otrokratis menjadi desentralisasi dan demokratis. Masyarakat yang pada saat penjajahan tidak mengenal pembagian kerja khususnya di pemerintahan, dituntut untuk mengenal pembagian kerja pada saat sistem demokrasi mulai diterapkan. Akan tetapi perjalanan itu tidak mudah. Dalam rangka menanggapi tuntutan perubahan itu, muncullah apa yang disebut Durkheim sebagai anomie. Mekipun pembagian kerja diakui, dalam praktiknya masyarakat masih mengalami kesulitan karena tidak terbiasa menghadapi sistem kerja yang sedemikian rupa.
Perubahan sosial di Yogyakarta, meskipun pada dasarnya muncul akibat 3 masa yang berbeda—masa kolonial Belanda, Jepang, hingga berada dalam kesatuan negara Indonesia— tidak terlepas dari sosok agen perubahan. Agen perubahan yang dimaksud adalah Sultan (terkhususnys Sri Sultan Hamengkubowono IX) beserta golongan elite terpelajar.
Berkaitan dengan persoalan pokok dalam tulisan Selo mengenai perubahan ideologi politik dasar masyarakat Jawa di Yogyakarta, Sultan dan golongan kelite terpelajar menyumbang peran penting dalam proses perubahan revolusioner tersebut. Sultan sebagai pemimpin utama keraton Yogyakarta —meskipun saat itu sesungguhnya Belandalah yang menjalankan pemerintahan utama— merupakan sosok yang dianggap sebagai sumber prestise masyarakat Yogyakarta. Segala sesuatu mengenai sultan dianggap baik. Keadilan, kehormatan, kemakmuran, kebijakan, Sultan merupakan sumber panutan masyarakat yang pengaruhnya menjamah hingga pada aspek terkecil masyarakat. Sementara kalangan elite terpelajar memegang peranan dalam mengkomunikasikan perubahan revolusioner yang terjadi kepada masyarakat terkhususnya masyarakat petani buta huruf yang cenderung melihat perubahan sebagai bentuk negatif dan destruktif.
Saat pendudukan Belanda dan Jepang di Yogyakarta runtuh, tindakan Sultan (Sri Sultan Hamengkubuwono IX) mengambil alih pemerintahan keraton menyebabkan keraton menjadi lebih dekat dengan rakyat. Semenjak Sultan membagi kekuasaannya dengan anggota DPD, prestise masyarakat tentang jabatan priyayi menurun. Seiring dengan sistem pemerintahan demokratis, banyak kalangan luar/ bawah yang menjadi pejabat-pejabat baru. Dampaknya di satu sisi, status kebangsawanan Jawa mengalami kemerosotan. Di sisi yang lain, masyarakat mulai berpandangan bahwa kedudukan dan kehormatan kini dapat diperoleh bukan hanya melalui nama/ pernghargaan melainkan dengan usaha. Tindakan Sultan inilah yang kemudian mendorong munculnya golongan/kelas baru yakni golongan terpelajar atau kaum intelek.
Pandangan tersebut secara berangsur-angsur membuka jalan bagi sistem stratifikasi yang semula tertutup menjadi stratifikasi yang bersifat terbuka.Karena saat itu hanya dengan cara menempuh pendidikan tinggi maka seseorang bisa duduk didalam pemerintahan, maka banyak diantara masyarakat yang kemudian sadar akan pendidikan dan menempuhnya sebagai sarana baru dalam mencapai kelas sosial tertentu. Pandangan akan hewan ternak yang semula dianggap sangat prestise di masyarakatpun lama-lama berubah. Seiring dengan prestisenya pendidikan, hewan ternak lebih banyak dijual untuk kepentingan pendidikan.
Maraknya pendidikan bukanlah satu-satunya fenomena di masyarakat dalam rangka mengimbangi perubahan-perubahan yang terjadi di Yogyakarta. Secara berangsur-angsur, penggunaan bahasa sehari-haripun turut berubah dari semula bahasa Jawa yang berstrata, menjadi bahasa Indonesia yang tidak menunjukkan adanya strata di masyarakat. Tidak hanya sekedar di dalam perbincangan formal antara pejabat daerah. Bahasa Indonesia di gunakan pula di dalam kehidupan keraton, termasuk saat berbicara kepada Sultan.
Komunikasi antara pamong praja dengan pemerintah desa pasca revolusi menjadi semakin mudah. Jika dulu pamong desa tidak pernah bisa memasuki pamong praja, dalam sistem yang baru komunikasi antar dua aktor tersebut mulai terbuka. Sejalan dengan terbukanya sistem kelas, masyarakat menjadi lebih mudah memperluas ruang lingkupnya. Berkembangnya ilmu pengetahuan, dan runtuhnya rintangan kelas menyuburkan hasrat untuk meraih kedudukan yang tinggi di dalam masyarakat. Sehingga apa yang disebut Durkheim sebagai perubahan solidaritas dari mekanik ke organikpun muncul, yakni mulai mengendurnya ikatan-ikatan tradisi yang mengikat masyarakat sebagai akibat dari pembagian sistem kerja yang terjadi di lingkungan mereka.
Faktor agen perubahan memang tidak dapat dipisahkan dari proses perubahan sosial di Yogyakarta. Meskipun demikian ada beberapa faktor lain yang turut menyumbang perubahan sosial di Yogyakarta yang sifatnya tidak bisa dikendalikan oleh Sultan maupun kalangan elite terpelajar saat itu. Faktor tersebut adalah kepercayaan akan ramalan kuno Jayabaya.
Pada masa pendudukan Belanda, struktur masyarakat menempatkan Belanda sebagai kelompok yang menempati kelas utama di dalam masyarakat. Meskipun saat itu Sultan merupakan sentral prestisenya masyarakat, Belanda menduduki kekuasaan diatas Sultan dan menempati pusat-pusat terpenting pemerintahan. Sehingga Belanda serta merta menjadi sosok yang paling diagungkan masyarakat. Terutama karena secara ras dan gaya hidup mereka jelas berbeda dengan masyarakat Jawa khususnya pribumi.
Namun anggapan itu runtuh tatkala Jepang menaklukkan Belanda. Peristiwa kekalahan tentara Belanda atas Jepang membuka mata mata rakyat bahwa Belanda bukanlah segalanya. Berita kekalahan negeri Belanda seketika meruntuhkan superioritas Belanda atas kaum Jawa. Belanda bukan lagi kelompok yang terhormat, melainkan kelompok yang tak ubahnya dalam kasta paria.
Faktor selanjutnya adalah mengenai sebuah drama yang dilakonkan oleh inspektur pamong praja Belanda di Gunung Kidul. Akibat esalahannya yang dilakukan inspektur tersebut menyebabkan yang hadir di dalam konferensi, pamong praja Jawa, mengetahui kedudukan Belanda yang saat itu tidak stabil. Kejadian tersebut kemudian menjadi pertanda akan berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia. Selebihnya, peristiwa itu kemudian meruntuhkan mitos supremasi orang Belanda atas orang Jawa sehingga gerakan revolusipun menjadi lebih mudah tercapai.
Dampak Perubahan Sosial Dan Kebudayaan Terhadap Masyarakat
Adanya perubahan sosial budaya secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak negatif dan positif.
A. Akibat Positif Perubahan dapat terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Keadaan masyarakat yang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan disebut adjusment, sedangkan bentuk penyesuaian dengan gerak perubahan disebut integrasi.
B. Akibat Negatif Akibat negatif terjadi apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan. Ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan disebut maladjusment. Maladjusment akan menimbulkan disintegrasi. Penerimaan masyarakat terhadap perubahan sosial budaya dapat dilihat dari perilaku masyarakat yang bersangkutan. Apabila perubahan sosial budaya tersebut tidak berpengaruh pada keberadaan atau pelaksanaan nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan positif. Namun, jika perubahan sosial budaya tersebut menyimpang atau berpengaruh pada nilai dan norma maka perilaku masyarakat akan negatif. Terdapat beberapa tanggapan masyarakat sebagai dampak perubahan sosial yang menimbulkan suatu ketidakpuasan, penyimpangan masyarakat, ketinggalan, atau ketidaktahuan adanya perubahan, yaitu sebagai berikut.
1. Perubahan yang diterima masyarakat kadang-kadang tidak sesuai dengan keinginan. Hal ini karena setiap orang memiliki gagasan mengenai perubahan yang mereka anggap baik sehingga perubahan yang terjadi dapat ditafsirkan bermacam-macam, sesuai dengan nilai-nilai sosial yang mereka miliki.
2. Perubahan mengancam kepentingan pihak yang sudah mapan. Hak istimewa yang diterima dari masyarakat akan berkurang atau menghilang sehingga perubahan dianggapnya akan mengancangkan berbagai aspek kehidupan. Untuk mencegahnya, setiap perubahan harus dihindari dan ditentang karena tidak sesuai kepentingan kelompok masyarakat tertentu.
3. Perubahan dianggap sebagai suatu kemajuan sehingga setiap perubahan harus diikuti tanpa dilihat untung ruginya bagi kehidupan. Pembahan juga dianggap membawa nilai-nilai baru yang modern.
4. Ketidaktahuan pada perubahan yang terjadi. Hal ini mengakibatkan seseorang ketinggalan informasi tentang perkembangan dunia.
5. Masa bodoh terhadap perubahan. Hal itu disebabkan perubahan sosial yang terjadi dianggap tidak akan menimbulkan pengaruh bagi dirinya. 6. Ketidaksiapan menghadapi perubahan. Pengetahuan dan kemampuan seseorang terbatas, dampak perubahan sosial yang terjadi ia tidak memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Akibat atau dampak perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi dalam masyarakat dapat berbentuk antara lain sebagai berikut :
1. Pergolakan dan Pemberontakan Proklamasi dikumandangkan sebagai pernyataan kemerdekaan Indonesia dapat diterima di berbagai daerah walaupun tidak secara bersamaan. Rakyat menyambut dan mendukungnya. Oleh karena itu, segera dibentuk suatu tatanan dan kehidupan sosial baru. Rangkaian peristiwa itu disebut revolusi. Adanya pergolakan dan pemberontakan di berbagai daerah pascakemerdekaan, berlujuan untuk menjatuhkan kedudukan penguasa pada saat itu, sekaligus menyatakan kelidaksetujuan mereka terhadap ideologi pemerintah.
2. Aksi Protes dan Demonstrasi Aksi protes disebut juga unjuk rasa yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia. Hal itu terjadi karena setiap orang memiliki pendapat dan pandangan yang mungkin berbeda. Protes dapat terjadi apabila suatu hal menimpa kepentingan individu atau kelompok secara langsung sebagai akibat dari rasa ketidakadilan akan hak yang harus diterima. Akibatnya, individu atau kelompok tersebut tidak puas dan melakukan tindakan penyelesaian. Protes merupakan aksi tanpa kekerasan yang dilakukan oleh individu atau masyarakat terhadap suatu kekuasaan. Protes dapat pula terjadi secara tidak langsung sebagai rasa solidaritas antarsesama karena kesewenang-wenangan pihak tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan bagi orang lain.
3. Kriminalitas Perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan memberi peluang bagi setiap orang untuk berubah, tetapi perubahan tersebut tidak membawa setiap orang ke arah yang dicita-citakan. Hal ini berakibat terjadinya perbedaan sosial berdasarkan kekayaan, pengetahuan, perilaku, ataupun pergaulan. Perubahan sosial tersebut dapat membawa seseorang atau kelompok ke arah tindakan yang menyimpang karena dipengaruhi keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi atau terpuaskan dalam kehidupannya. Perbuatan kriminal yang muncul di masyarakat secara khusus akan diuraikan sebagai akibat terjadinya perubahan sosial yang menimbulkan kesenjangan kehidupan atau jauhnya ketidaksamaan sosial. Akibatnya, tidak semua orang mendapat kebahagiaan yang sama. Adanya perbedaan tersebut menyebabkan setiap orang memiliki penafsiran yang berbeda- beda terhadap hak dan kewajibannya. Setiap orang harus mendapat hak disesuaikan dengan kewajiban yang dilakukan.
4. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Bangsa Indonesia yang sedang membangun perlu memiliki sistem administrasi yang bersih dan berwibawa, bebas dari segala korupsi, kolusi, dan nepotisme. Masalah korupsi menyangkut berbagai aspek sosial dan budaya maka Bung Hatta (dalam Mubyarto) mengatakan bahwa korupsi adalah masalah budaya. Apabila hal ini sudah membudaya di kalangan bangsa Indonesia atau sudah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa akan sulit untuk diberantas. Akibatnya, ha! tersebut akan menghambat proses pembangunan nasional. Untuk memberantas korupsi, tidak hanya satu atau beberapa lembaga pemerintahan saja yang harus berperan, tetapi seluruh rakyat Indonesia harus bertekad untuk menghilangkan korupsi.
5. Kenakalan Remaja Kenakalan remaja merupakan disintergasi dari keutuhan suatu masyarakat. Hal itu karena tindakan yang mereka lakukan dapat meresahkan masyarakat Oleh karena itu, kenakalan remaja disebut sebagai masalah sosial. Munculnya kenakalan remaja merupakan gejolak kehidupan yang disebabkan adanya perubahan-perubahan sosial di masyarakat, seperti pergeseran fungsi keluarga karena kedua orangtua bekerja sehingga peranan pendidikan keluarga menjadi berkurang. Selain itu, pergeseran nilai dan norma masyarakat mengakibatkan berkembangnya sifat individualisme. Juga pergeseran struktur masyarakat mengakibatkan masyarakat lebih menyerahkan setiap permasalahan kepada yang berwenang. Perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan unsur budaya lainnya dapat mengakibatkan disintegrasi.
KESIMPULAN
Perubahan tidak saja menggoyahkan budaya yang berlaku, dan merusak nilai-nilai dan kebiasaan yang dihormati, tetapi tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat. Bahkan inovasi tambahanpun dapat mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya. Teknologi modern menyebar ke seluruh pelosok dunia. Sebagaimana disinggung pada sebelumnya, sampai batas-batas tertentu semua unsur baru merusak budaya yang berlaku. Jika suatu kebudayaan yang segenap unsur dan institusinya selaras serta terintegrasi secara baik mengalami perubahan pada salah satu unsurnya, maka hal tersebut akan mengacaukan ketahanan kebudayaaan. Karena kebudayaan mencapai aspek yang saling berkaitan, maka pada umumnya kita akan merasa lebih mudah menerima serangkaian perubahan yang saling berkaitan dari pada menerima serangkaian perubahan yang saling berkaitan daripada menerima perubahan terpisah dalam suatu waktu tertentu. Dan dalam masyarakat yang kacau para anggotanya, yang mengalami hambatan dalam menemukan sistem perilaku yang cocok, akhirnya ikut menjadi perilaku yang rapuh. Manakala mereka telah putus harapan untuk menemukan cara hidup yang baik dan telah berhenti berupaya, maka mereka dikatakan telah kehilangan semangat hidup (demoralized). Meskipun perubahan kadangkala membawa kepahitan, namun penolakan tersebut bisa saja mengakibatkan kepahitan yang lebih parah, karena perubahan tidak terlepas dari keuntungan dan kerugian. Contoh keuntungan adalah dengan perubahan masyarakat yang terisolir menjadi lebih maju dan tidak terbelakang, modernisasi dan lain-lain. Perancangan sosial (social planning) mencoba mengurangi kerugian perubahan, namun keberhasilannya masih diperdebatkan.
“Perubahan Soaial budaya sangat beragam dan bermacam-macam.Dampak dan akibat dari perubahan itu sendiri juga beragam,tergantung apa yang kalian inginkan ?? perubahan yang berdampak positif atau yang berdampak negative. Perlu diketahui bahwa perubahan social budaya karena globalisasi itu tidak selamanya buruk dan tidak selamanya baik. Kita harus dapat membentengi diri kita dengan iman dan ilmu pengetahuan agar dapat mengambil pengaruh baik darii perubahan social budaya itu.Kita sangat diwajibkan untuk berusaha menyaring dan bersifat selektif terhadap perubaan yang masuk dan bergabung ke lingkungan kalian.Agar kita dapat mengambil hal yang paling positif dan maksimal dalam perubahan di lingkungan kita !!”
“Hanya Diri Kita Sendiri yang Menentukan Perubahan yang Kita Inginkan”
~ TERIMA KASIH ~
DAFTAR PUSTAKA
http://inaharta09.blogspot.com/2013/01/perubahan-sosial-budaya-dalam-masyarakat.html
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1992756-dampak-perubahan-sosial budaya
BSE IPS Sanusi Fattah,Jono Trimanto,Juli Waskito,M.Taukit Setyawan
Gauthama, M. P. (Ed.). (2003). Budaya Jawa Dan Masyarakat Modern. Jakarta: P2KTPW BPPT.
Perubahan sosial,Selo Soemardjan,Sultan,Yogyakarta
Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Murniatmo, G., Sumintarsih, Sukari, Ariani, C., & Nurwanti, Y. H. (2000). Aktualisasi Nilai Budaya Bangsa Di Kalangan Generasi Muda DI Yogyakarta. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional. Jakarta: Depdikbud.
Soemardjan, S. (1962). Social Changes in Jogjakarta. New York: Cornell University Press.
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1992756-dampak-perubahan-sosial budaya
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengaantar.............................................................................. i
Daftar isi....................................................................................... ii
Pendahuluan
Latar Belakang Perubahan Sosial Budaya...................................... 1
Faktor Pendorong Perubahan.......................................................... 2
Faktor Penghambat Perubahan....................................................... 3
Pembahasan
Sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta ........................................ 4
Perubahan Sosial Masyarakat sekitar Keraton ............................. 6
Perubahan Budaya Masyarakat sekitar Keraton............................ 10
Dampak Perubahan Sosial dan Budaya terhadap Masyarakat…. 18
Penutup
Kesimpulan..................................................................................... 20
Daftar pustaka................................................................................. 21
Casino in Las Vegas, Nevada - DrmCD
BalasHapusCasino in 의왕 출장샵 Las 전라북도 출장샵 Vegas, Nevada. DrmCD's community-based, 태백 출장샵 interactive and interactive guide 공주 출장안마 for hotel, gaming, 광주 출장샵 restaurants, and more!